Ekspedisi Merbabu

Beberapa waktu lalu, gue bersama saudara gue mendaki Gunung Merbabu. Gunung Merbabu merupakan gunung yang terletak di Boyolali dengan ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl). Gunung Merbabu adalah salah satu gunung hitz yang ada di Jawa Tengah dan terletak tepat berdampingan dengan Gunung Merapi. Merbabu sendiri berasal dari kata Meru: gunung dan babu: wanita, sehingga Gunung Merbabu berarti Gunung Wanita.

Kami berempat saudara berangkat dari rumah kami di daerah Gajahan, Solo via sepeda motor sekitar pukul 09.00 WIB dan sampai di basecamp New Selo sekitar pukul 11.00 WIB.  Dari Solo ke Boyolali kota perjalanan sangat mulus. Tapi begitu sampai di perkampungan penduduk mendekati basecamp, jalan aspal menjadi sangat terjal hampir sekitar 45o, selain itu di sisi jalan tersebut adalah jurang yang merupakan ladang milik penduduk. Motor yang kami naiki pun nggak kuat dan akhirnya terpaksa gue dan sodara gue yang perempuan turun dari motor jadi mereka bisa sampai di basecamp dulu, lumayan lah buat pemanasan sebelum mendaki. Faktor yang bikin motor kami nggak kuat nanjak adalah jalannya yang kelewat terjal, kemampuan mesin motor yang udah melewati batas, dan beratnya carrier serta daypack yang kami bawa.

Ada 4 jalur pendakian Gunung Merbabu, yaitu:
1.      Jalur Selo
2.      Jalur Wekas
3.      Jalur Cunthel
4.      Jalur Thekelan
Saat itu kami memilih jalur pendakian Selo karena menurut kami jalur tersebut yang paling aman dan agak landai. Begitu kami sampai di basecamp, kami leyeh-leyeh sebentar sambil menikmati makan siang yang kami bawa dari rumah, biar ngirit tentunya. Sebetulnya di basecamp pun juga ada berbagai menu makanan dan minuman yang mantap seperti mie, nasi oseng, teh, kopi, dan lain-lain. Selain itu, basecamp juga menyediakan kamar mandi dan kamar kecil, serta menjual cenderamata untuk oleh-oleh keluarga di rumah.

Sekitar pukul 13.00 WIB, kami mulai mendaki. Sebelum mendaki, kami mendaftarkan dulu di basecamp dengan biaya kontribusi Rp 15.000 (agak lupa juga, tapi nggak sampe Rp 20.000). Perjalanan dari basecamp ke Pos I (Dok Malang) menurut gue cukup mudah, karena jalur tersebut cukup landai, bahkan pemula pun bisa jalan di situ dengan kecepatan normal layaknya jalan di jalan datar biasa. Meskipun landai dan bisa jalan dengan cepat, bukan berarti kita nggak banyak berhenti untuk istirahat. Kita tetep istirahat kok ketika capek dan haus. Inget  jangan pernah maksain fisik, istirahatlah kalo capek. Temen-temen elo bakal nungguin kok, kalo mereka nggak nungguin, jangan pernah mendaki bareng mereka lagi! Hehehe. Dari basecamp, perjalanan kami disambut dengan area perkemahan yang luas dan rindang karena banyak ditumbuhi berbagai jenis pohon. Setelah beberapa lama, kawasan pendakian didominasi dengan hutan lebat yang rindang dan sejuk. Semakin mendekati Pos I, banyak dijumpai persimpangan-persimpangan yang bisa mengarahkan kami ke rumah penduduk atau justru tersesat. Pokoknya tetap ikuti penunjuk arah yang ada.
Kami foto dulu di depan gerbang jalur pendakian Selo

Jalan menuju Pos I

Jalur dari Pos I ke Pos II (Pandeyan) juga menurut gue cukup mudah. Tapi di situ ada suatu tempat yang agak sulit buat dilaluin, tempatnya curam dan banyak batu besarnya gitu, namanya Tikungan Macan. Harus hati-hati ya begitu sampai bagian situ. Selain itu ada beberapa tempat yang meskipun landai, tapi licin banget karena banyaknya pasir dan debu. Pokoknya rawan kepeleset deh. Nah, kalo udah kepeleset, coba cari apapun di sekitar elo yang bisa dipegang supaya elo nggak jatuh dengan parahnya. Think fast! Elo bisa pegangan sama akar pohon atau batang pohon kalo di sekitar elo ada pohon. Biar lebih aman lagi, elo juga bisa bawa tongkat pegangan untuk meminimalisir terjadinya jatuh atau kepeleset. Hampir semua toko outdoor gear jual tongkat itu kok. Sebenernya nggak beli pun nggak masalah, elo bisa gunain ranting pohon yang udah jatuh ke tanah, usahain pilih ranting yang kuat dan keras, tapi nggak terlalu besar ya. Asal jangan pakai tongkat narsis aja.
Tikungan Macan

Leyeh-leyeh dulu


Sampe juga di Pos II

Nah, untuk perjalanan dari Pos II ke Pos III, jalan makin menanjak dan terbuka. Di situ kami masih melintasi hutan tapi nggak selebat seperti sebelumnya. Dan percayalah, tanjakan di daerah tersebut masih belum apa-apa. Tapi tetep waspada dan hati-hati aja.

Dari Pos III inilah perjuangan sesungguhnya sebagai pendaki dimulai. Dari Pos III hingga ke sabana bayangan atau Batu Tulis, kita melalui sungai kering. Jalan makin menanjak lagi dan dipenuhi pasir dan kerikil-kerikil kecil yang bikin jalur tersebut jadi licin. Meskipun begitu, pendaki pemula masih bisa melaluinya sendiri dengan pelan-pelan dan hati-hati kok. Kalo kata orang jawa, alon-alon waton kelakon. Batu Tulis merupakan tempat terbuka yang cukup luas, di tengah-tengahnya terdapat batu yang lumayan besar. Begitu sampai di Batu Tulis, perjuangan kita sedikit terbayarkan dengan pemandangan indah Gunung Merapi yang lumayan dekat dan padang edelweiss di punggung bukit.
Medan dari Pos III ke Batu Tulis


Sampe di Batu Tulis, di belakang pemandangannya padang edelweiss

Foto dulu sebelum mulai merangkak

Setelah istirahat beberapa saat sambil menikmati panorama alam, pendakian dilanjutkan kembali dengan melewati medan yang sangat terjal, dengan kemiringan hampir mencapai 90o. Di medan tersebut suasana sangat terbuka, berdebu, dan banyak sekali kerikil. Baik di musim kemarau maupun musim hujan, medan tersebut bisa menjadi sangat licin. Ketika gue berusaha merangkak di situ untuk mencapai puncak bukit yang landai, di belakang gue tampak Gunung Merapi menatap dan mengamati kerja keras gue. Memang indah ketika kami berfoto bersamanya di situ, tapi rasa waswas ketika gue menoleh ke belakang begitu bikin gue ngerasa ngeri. Seakan kalo gue jatuh di medan terjal tersebut, Merapi akan menangkap gue. Tolong jadi perhatian bagi yang punya phobia ketinggian, dan kata ‘hati-hati’ di pendakian tersebut haruslah selalu jadi kata kunci. Jangan asal merangkak, elo juga harus bekerjasama dengan temen-temen elo, terlebih yang cowok, kalo perlu gunain tali tambang untuk saling berhubungan. Perhatikan setiap langkah yang elo ambil, apakah itu akan menyelamatkan atau justru membahayakan elo.

Sampai di Sabana I, semua jerih payah elo akan terbayar. Sabana I merupakan padang rumput luas yang cocok untuk berkemah dan mendirikan tenda. Saat itu kami sampai di Sabana I sekitar abis Maghrib, dan memutuskan beristirahat serta mendirikan tenda di situ. Gue pribadi nggak bisa kalo disuruh mendaki saat gelap/malam, karena selain gue menderita rabun senja, gue juga bisa muntah kaya pas pendakian gue sebelumnya hehehe. Keuntungan menginap di Sabana I adalah kami bisa ngelihat sunrise yang indah banget. Karena di Sabana I tersebut letaknya bukan di lembah atau dikelilingi bukit-bukit, tapi terbuka banget. Gue bahkan bisa ngelihat secuil puncak dari Gunung Lawu di arah timur yang diselimuti awan-awan.
Pemandangan di Sabana I


Sunrise di Sabana I


Sunrise di Sabana I

Ketika udah pagi lagi, kami mulai mendaki lagi. Karena suasananya udah terang benderang, gue jadi bisa ngelihat pemandangan di Sabana I yang merupakan padang rumput sangaaat luas, dan dari situ gue bisa melihat bukit-bukit yang harus gue daki, menunjukkan betapa masih jauhnya gue dari puncak. Dari Sabana I sampai puncak gunung, medan yang disuguhkan berupa jalan terjal yang berdebu, berkerikil, dan licin. Sama seperti ketika kami mendaki dari Batu Tulis ke Sabana I. Tapi, bukan berarti dari Sabana I sampai puncak jalurnya adalah medan terjal tiada henti. Enggak kok. Di situ kita naik turun bukit sebanyak 4x, tapi ya emang seperti itu medan yang ada. Bahkan dari Sabana I, kami ketemu sama Sabana II yang nggak kalah kerennya. Apa bedanya Sabana I dan Sabana II? Menurut gue kalo Sabana II itu lebih dikelilingi bukit-bukit gitu, jadi susah untuk dapet sunrisenya. Jalur pendakian semakin terbuka seiring dengan semakin dekatnya puncak, semakin banyak padang rumput dan semakin sedikit tempat berteduh. Tapi tenaaang, selama perjalanan tersebut elo masih bisa menikmati panorama padang edelweiss dan Gunung Merapi yang berdiri gagah di belakang elo ketika elo sedang mendaki.
Sabana II
Dari Sabana II ke puncak suasana makin terbuka


Leyeh-leyeh dulu meskipun nggak ada tempat berteduh

Daaaan, sampailah kita di puncak! Puncak yang kita capai saat itu adalah Puncak Triangulasi yang merupakan puncak tertinggi dari Gunung Merbabu. Sayangnya kita nggak pergi ke puncak lain, kita bahkan nggak pergi ke Puncak Kenteng Songo yang jarak tempuhnya kira-kira cuma 10 menit dari situ. Saat itu kita bener-bener fokus menikmati panorama alam di situ, kita lupa betapa capeknya kita dan betapa kerasnya perjuangan kita, kita merasa kita udah ada di titik tertinggi dari Gunung Merbabu, dan nggak lupa kami mengambil beberapa foto. Dari puncak, kami bisa ngelihat Gunung Merapi yang berdiri kokoh di arah selatan, sedang mengepulkan asapnya, sangaaat dekat. Di bagian timur secuil dari puncak Gunung Lawu pun terlihat. Dan di arah barat tampaklah Gunung Sindoro, Gunung Slamet, dan Gunung Sumbing berjajar, ada pula Gunung Ungaran dan Gunung Andong yang tampak mungil di banding gunung lainnya.
Sampe puncak juga!


Pemandangan Gunung Merapi sangat dekat


Berjajar gunung-gunung



Setelah beberapa waktu menikmati ciptaan Tuhan tersebut, kita mulai turun lagi. Satu yang gue pikirin… gimana caranya turun dengan aman? Hahahaha. Kan gawat, kalo bisa naik tapi nggak bisa turun. Apalagi medannya kelewat curam. Untungnya sodara gue yang laki-laki mau membantu gue turun dengan cara menuntun gue. Kadang kala gue juga delosoran sampai celana gue nggak lagi ada bentuknya. Pendaki lain sih ada yang berlari cepet, tapi menurut gue itu bahaya banget, terutama kalo dia nggak bisa ngerem. Yaah, mungkin dia udah pro kali ya. Tapi se-pro-nya seseorang dalam travelling, khususnya mendaki, tetep yang nomor 1 adalah keamanan ya. Safety first, not selfie first!

No comments:

Post a Comment